Kamis, 22 September 2016

DIA

Jarak. Kurang dari 50 cm. Berhadapan. Aku. Kamu dan suara itu.

Oh Tuhan.. Ku cinta dia

Aku hanya perempuan berhati biasa, yang dengan mudahnya luluh dan hilang akal saat suaramu menggema di gendang telinga.

Sayang dia

Ah, semakin saja aku hilang akal mendengarnya. Apalagi jarak yang tercipta antara kita tidak lebih dari 50 cm. Aku semakin menggenggam erat tali tasku. Semakin memusatkan perhatian pada unjung sepatuku. Tapi, bagaimana bisa aku mengabaikan paras menawanmu? Sulit. Sungguh!

Rindu dia..

Aku juga merindukanmu bahkan dipertemuan pertama kita. Aku bingung harus mengeja namamu dari huruf apa. Berdiri di hadapanmu dengan jarak yang tidak lebih lebar dari satu langkah kaki orang dewasa, jujur saja membuatku kehilangan oksigen secara tiba-tiba.
Berkali-kali aku mengalihkan pandangan kepada apa saja, hanya untuk menghindar dari tatapanmu yang bisa saja membunuhku seketika.

Inginkan dia

Sumpah! Ini momen terkampret yang sama sekali tak pernah aku bayangkan. Di hadapan mereka, secara lantang kau ucapkan itu. Aku hanya perempuan berhati biasa, yang dengan mudah bisa terbang menyentuh awan hanya karena suaramu yang menurutku lebih dari indah saat mengucapkan sederet kata magis itu.

Utuhkanlah rasa cinta di hatiku

Gitar yang kau mainkan sungguh laknat! Bagaimana bisa benda itu membuat suaramu semakin meluluh lantakkan hati dan juga pendengaranku?
Siapa saja tolong, aku butuh tambahan udara! Aku juga butuh penyangga agar berdiriku tetap tegak, karena aku merasakan segala jenis tulang yang ada di tubuhku hilang entah kemana. Aku jatuh cinta!

Hanya padanya, untuk Dia

Puas?? Aku jatuh cinta padamu. Pada suaramu. Pada caramu memetik gitar tepat di hadapanku. Pada caramu menutupi gerogi saat aku dengan bodoh menatap tepat di matamu. Pada wangi parfummu yang tak bisa ku elak untuk menelusup hidung hingga ke jantungku.  Membuat jantungku bekerja tak semestinya. Bisa dipastikan semua darahku berkumpul di pipi, bisa dipastikan juga semua orang yang mengerumuni kita sekarang melihat wajahku yang sudah bersemu merah.
Pada kamu, yang bahkan namamu saja tidak ku ketahui, aku jatuh cinta.

22 september 2016
di dalam bis pada perjalan pulang
19.20 wib

Sabtu, 10 September 2016

Ending

Kenapa harus ada pilihan untuk sebuah akhir?
Bahagia atau sedih. Ah!
Tidak bisakah kita lanjutkan saja meski harus ada beribu bagian cerita lainnya?
Haruskah kata 'ending' itu dituliskan??

Apa kau lelah menjadi tokoh dalam cerita ini?
Apa kisah ini terlalu menyulitkanmu?
Apa aku meminta terlalu banyak padamu??
Aku hanya ingin bersamamu, lebih lama..

Ya, tentu saja kau lelah..
Dengan segala keegoisanku
Dengan segala tuntutanku yang harus kau penuhi
Aku, si antagonis yang tak pernah bisa kau atasi.

Bahagia atau tidak, aku hanya ingin ending terbaik untukmu
Tanpa duka dan air mata, hanya suka dan segenap tawa.
Meski aku harus kehilangan jiwa..

Untuk kisah panjang yang pada akhirnya akan kau lupakan, aku hanya ingin ending terbaik untukmu.

10 september 2016
"Aku pasti bisa melupakanmu." ucapmu.

Perlahan tubuhku menghilang, seiring akhir yang kau pilihkan.
11 september 2016
02.37
Ending.