Selasa, 23 Agustus 2016

A R K A (1)

Terlalu fokus pada satu titik akan menghilangkan kesempatanmu untuk melihat sebuah garis.

**

"Ka, berapa tahun ya umur pohon ketapang ini?"

"Gue bukan bapaknya"

"Sejak pindah kesini tujuh tahun lalu pohon ini sudah besar. Pasti umurnya lebih dari sepuluh tahun. Kalau seandainya pohon ketapang ini manusia, pasti udah bisa jatuh cinta ya.."

"Gue bukan ibunya"

Kiara mendelik kesal mendengar jawaban asal dari cowok di sampingnya ini.

"Ya jelas, karena lo adalah.. Arka nya gue!" 

Kiara dengan cepat memposisikan wajah penuh senyumnya tepat di depan muka Arka, membuat nafas cowok itu sedikit tercekat. Bagaimana tidak, ada lukisan indah sang pencipta memenuhi seluruh penglihatannya. Arka selalu menyukai cara Kiara tersenyum.

"Ga usah nyosor kali Ra, nafsu banget sama gue" ucap Arka santai, meskipun hatinya sama sekali tidak santai.

"Abis lo gemesin" Kiara masih terus menggoda Arka, lengkap dengan kedipan mata berkali-kali. Gadis ini semakin terlihat menawan.

"Pliss deh Ra, muka lo minta dibayarin banget! Hahahaa.." tawa Arka pecah. Menggema ke seluruh penjuru, untung saja hanya ada mereka berdua. Sejoli ini sedang bersantai di bawah rindangnya pohon ketapang yang berdiri kokoh di sudut lapangan basket, tempat favorit mereka.

"Hahahaa.. Yes! Kiara bikin Arka tertawa lagi!" teriak gadis dengan bibir tipis ini seakan bangga dengan pencapaiannya.

Hanya Kiara yang bisa membuat Arka tertawa tanpa aturan. Ya, Arka, cowok dua puluh satu tahun yang terkenal pendiam dan selalu bisa menyimpan emosi dengan rapi, sedangkan Kiara adalah sosok yang siapapun bisa tahu apa yang sedang dirasakannya. Dua pribadi yang sangat berbeda.

"Jadi kenapa lo ngajak gue ketemuan disini?"

"Buat cari tahu berapa umur pohon ketapang ini" giliran Kiara yang menjawab seenaknya.

"Kurang kerjaan!"

"Hehehee.. Engga sih, sebenarnya gue..." Kiara tidak langsung melanjutkan kata-katanya. Gadis ini mengulum senyum ragu-ragu.

"Elo kenapa?" wajah Arka seketika berubah panik. Ia menatap Kiara penuh selidik.

"Gue kangen elo tau.." balas Kiara santai.

Jawaban Kiara cukup membuat Arka bisa menghembuskan nafas dengan santai, nampak sekali kelegaan di wajahnya yang teduh. Hampir satu minggu keduanya tidak bertemu. Dan kerinduan hanya bisa dituntaskan dengan pertemuan, pikir Arka.

"Lo selalu punya alasan untuk menemui gue, Ra." ucap Arka sambil tersenyum.

"Oh tentu. Dan lo ga boleh nolak kalau gue ajak ketemuan, karena nahan kangen itu ga enak!" gertak Kiara. Air mukanya dibuat setegas mungkin, menyiratkan tidak ingin dibantah.

Arka menatap Kiara sambil mengangkat tinggi alis matanya yang tebal. Tanpa gertakanpun ia akan datang setiap kali gadis ini minta pertemuan.

"Mau main basket, Ra?" Arka berdiri dan mulai memainkan bola basket yang dari tadi jadi penghias lapangan.

"Engga ah, gue ga pernah bisa menang dari lo. Gue jadi penikmat aja deh."

Kiara tak beranjak dari posisi duduknya. Mulai menikmati permainan Arka. Cowok yang dikenalnya sejak tujuh tahun lalu ini memang penikmat dan pecinta basket. Baginya tiada hari tanpa basket, begitu yang dipahami Kiara sejak dulu.

"Ka!"

"Apa??" Arka masih melanjutkan permainannya. Tapi karena Kiara tak kunjung bersuara, Arka berhenti memantulkan bola basketnya dan berjalan ke arah tempat Kiara  duduk.

"Lo akan tetap jadi Arkanya gue kan?" nada bicara Kiara melunak namun tak sedikitpun menghilangkan keseriusan dari kata-katanya.

"Selama yang lo mau"

"Kalo gue udah ga mau?"

Pertanyaan Kiara membuat Arka terdiam beberapa saat. Ia memejamkan matanya sejenak, mengumpulkan seluruh keyakinannya.

"Gue akan tetap jadi Arkanya elo.. walaupun gue harus berdiri di luar lapangan."

"Gue beruntung punya elo, Ka" ucap Kiara tulus. Ia menatap Arka lama, wajahnya dipenuhi ekspresi kebahagiaan dan rasa syukur yang kentara. Lengkap dengan senyum yang Arka suka.

Gue juga beruntung banget punya elo, Ra. Teriak Arka dalam hati.

Catatan sederhana untuk rindu yang luar biasa

Hei, aku rindu!
Rindu menari di bawah hujan tanpa takut basah
Karena kau akan menjadi payungku, ucapmu dulu.

Hei, aku rindu!
Sangat rindu.
Tak bisakah ku minta lagi payung yang kau janjikan dulu?
Masihkah itu milikku?

Hei, aku rindu!
Rindu yang butuh waktu
Waktu untuk mata yang saling bertemu.

Meski bagimu rinduku tak lagi berarti, namun hujan membuatnya tetap tumbuh tak terkendali.
Hei, aku rindu!

You're not alone..

Ada aku disini

"Dia berubah!"

"Jadi apa? Power rangers? Batman atau Superman? Hahaaa"

"Ka!"

"Abisnya yang lo ceritain perubahan dia mulu, bosen gue"

"Lo ga mau lagi denger cerita gue, Ka?"

Gue ga tahan lagi untuk tidak tersenyum melihat ekspresi gadis di depan gue ini. Tampang menyedihkannya itu loh.. maksimal!

"Gue harus nyeduh teh atau kopi nih buet dengerin cerita lo?"

"Kopi hanya akan menambah kepahitan dalam cerita gue. Teh aja deh Ka, sekalian buat gue ya"

"Oke. Sebentar ya, Ra"

Kiara, gadis bermata bulat dan alis yang tebal ini akan selalu menemui gue setiap kali ada masalah dengan pacarnya. Gue heran, dia cantik, baik, tapi ga pernah diperlakukan baik oleh pacarnya. Gue pilih teh melati sebagai teman ngobrol kita. Semoga saja aromanya bisa sedikit menenangkan gue dan dia.

Gue bawa dua cangkir teh ke ruang baca, tempat favorit Kiara di rumah gue. Gadis itu sudah menunggu, gue yakin sudah banyak kata yang ingin dia katakan, tinggal menunggu mulutnya terbuka dan bibir tipisnya akan menyebut nama cowok itu berkali-kali. Siapa lagi kalau bukan pacarnya. Gue harus siap menahan emosi lagi.

"Ka, Danni nyuekin gue lagi! Kita papasan, dan lo tau? Dia ga nyapa gue!"

Ah, gue paling benci liat air mata Kiara. Pliss Ra, jangan nangis di depan gue, atau gue akan habisin cowok lo itu!

"Lo ga keliatan kali, karna baju lo samaan warnanya sama dinding"

"Setidaknya rambut gue masih hitam, Ka.."

"Atau mungkin dia lupa kalo lo pacarnya"

Kiara ga membalas ucapan gue. Tidak biasanya gadis ini diam.

"Ka.."

"Basket yuk Ra, mumpung mendung nih, jadi lo ga perlu takut kepanasan"

"Hati gue udah kelewat panas, Ka"

"Lebih panas mana dari teh yang lo pegang? Yuk ah!"

Gue ambil cangkir yang Kiara pegang dan gue tarik paksa gadis itu ke luar rumah. Di seberang jalan depan rumah gue ada lapangan basket kompleks, tempat gue dan Kiara biasanya main atau sekedar duduk santai. Di salah satu sudut lapangan ada pohon ketapang dengan daun yang rimbun, tempat favorit kita.

"Ka, gue ga mood main. Bisa ga kita duduk aja?"

"Lo duduk, gue main"

"Gue mau cerita Ka.."

"Sepuas lo.. gue bakal tetap dengerin meskipun lo ceritanya sambil diam"

"Gimana bisa lo denger kalo guenya diam? Absurd lo! Hahaa"

Senang rasanya bisa menciptakan sedikit tawa disela patah hatinya Kiara. Selalu menenangkan melihat gadis ini tertawa, meskipun tak sedikitpun luka yang dia bawa sekarang bisa tersamarkan.

"Akhir-akhir ini Danni benar-benar berubah Ka, tidak seperti dulu. Ga ada lagi perhatian, bahkan untuk ketemu aja susah."

"Bilang dong kalo lo kangen"

"Udah Ka, tapi jawaban dia apa? Sabar! Itu doang"

"Ya udah, lo sabar dulu. Mungkin dia lagi sibuk"

"Sesibuk apa sih Ka? Gue ga minta ketemu seharian kok, sejam juga cukup. Rindu butuh tatap mata untuk sembuh, Ka"

Perlahan air mata Kiara mulai menyilaukan penglihatan gue. Bola yang gue mainkan tidak lagi memantul sempurna, berkali-kali gue gagal memasukkan bola ke dalam ring.

"Hubungan lo udah ga sehat tuh, periksa ke dokter coba. Kali aja dikasih vitamin A"

Gue lempar asal bola yang gue pegang, duduk di samping Kiara jauh lebih menarik untuk saat ini. Kiara lebih butuh tangan gue daripada bola basket itu.

Gue masih bisa melihat senyum Kiara dibalik air mata yang membuat pipi mulusnya basah.

"Lo kira hubungan gue sakit mata"

"Kenapa ga disudahi aja sih, Ra? Lo lebih banyak nangis daripada tertawa saat ceritain dia ke gue"

"Ga semudah itu, Ka. Gue udah tiga tahun bareng dia"

"Yang pacaran sembilan tahun aja masih bisa bubar kok"

"Gue masih cinta"

"Yakin itu masih cinta? Atau lo cuma takut bakal kehilangan status? Ayolah Ra.. Lo cantik, pinter, baik, pasti banyaklah cowok yang mau jadi pacar lo"

"Gue.."

"Udah saatnya lo buka mata dan lihat sekeliling lo, cowok ga cuma Danni!"

Gue mau lo bisa melihat lebih jelas Ra. Dan lo ga perlu takut, ada gue di samping lo. Gue merebahkan tubuh di sebelah Kiara, bayang-bayangnya sedikit melindungi mata gue. Gue bisa melihat lebih bebas.

"Entahlah Ka, gue belum siap sendiri. Pasti akan aneh rasanya kalo gue putus. Gue terbiasa punya pacar, Ka"

"Sebrengsek-brengseknya cowok, dia akan jadi cowok yang sangat baik paling tidak untuk gadis yang dicintainya. Kalo dia cinta, pasti dia akan memperlakukan cewek itu dengan istimewa."

"Berarti Danni udah ga cinta sama gue dong, Ka??"

Gue ga mau bikin gadis ini tambah patah hati. Semoga waktu tidak mempermainkannya terlalu lama. Gue ingin melihat senyumnya lagi, senyuman yang lebih indah dari pelangi.

"Gue cinta kok sama lo"

"Ka!!"

"Gue serius"

"Ka dengar, lo sahabat terbaik yang pernah gue punya"

"Tapi gue cinta sama lo, Kiara"

"Mayrika!! Gue masih belum seabsurd itu untuk jadian sama lo"

"HAHAHAHAA"

Terima kasih sudah menjadi tempat terbaik untuk pulang. Segelap apapun kisah yang gue bawa, bisa lo cerahkan dengan tawa. -Kiara-

Minggu, 21 Agustus 2016

Cerita yang Segera Usai

Lelakiku memang pencuri hati paling raja...

"Sayang,  di kost-anku hujan,  rencana jalannya kita batalkan saja ya"

Lagi-lagi aku hanya bisa mengiyakan dan menerima alasan klasik yang dia gunakan untuk membatalkan janji kita. Rencana menghabiskan malam minggu,  malam sakral bagi setiap pasangan. Padahal aku sangat ingin bertemu dengannya,  bertatap mata membunuh segala rindu.

Di kost-anku hujan.

Langit di atas kost-anku memang berawan dan tanpa bintang,  tapi tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Rasanya aku ingin tertawa,  bagaimana bisa tempat yang hanya dipisahkan beberapa gang kecil saja bisa mengalami perbedaan cuaca seekstrim itu?  Mungkin lelakiku sedang berada di kost-an dia yang lain. Mungkin.

Lelakiku memang pencuri hati paling raja..
Dengan mudah aku bisa menerima setiap alasannya.
Aku anggap ini resiko karena akupun telah membiarkan hatiku dicuri olehnya.

"Sayang,  matahari pagi ini bagus,  kita jogging yuk?  Aku jemput kamu ya,  Syafa"
Aku tersenyum membaca pesan singkat dari lelakiku ini.

Ya,  memang cerah cuaca pagi ini.  Sejuk untuk berolahraga atau sekedar jalan-jalan santai sambil bertukar cerita.

"Lain kali saja ya, Sayang. Di kost-anku sedang hujan badai,  aku tidak ingin kamu kehujanan.  Oh iya Sayang,  namaku Mefa bukan Syafa"
Pesan balasanku terkirim.

Seketika hujan langsung bergerilya turun di atas kepalaku.
Rintiknya menari menampar pipi
Aromanya menguar menyesak rongga dada
Aku kehilangan udara,  lelakiku memang pencuri hati paling raja.