Rabu, 01 Agustus 2018

Langkah Selamat Tinggal

"Rapi bener.. Mau kemana lo?"

"Ketemu Dannis."

"WHATT???"

Rena meringis mendengar teriakan sahabatnya itu. Tidak diragukan lagi, gadis di depannya ini memang ahli dalam berekspresi apalagi soal suara. Rena sudah paham.

"Lagian lo ngapain sih? Ga tau caranya ketuk pintu?" ucap Rena tidak sepenuhnya kesal, karena bukan hal baru lagi masuk ke kamar masing-masing tanpa izin.

"Tadi gue ketemu Dewa di bawah, katanya lo di kamar. Gue kan khawatir sama lo, Nyet." jawab Dita jujur. Dia langsung mengambil posisi duduk di kasur Rena.

Rena tidak membalas ucapan Dita, ia hanya tersenyum menatap cermin yang di depannya. Melihat penampilannya sekali lagi dan meyakinkan bahwa everythings gonna be okay.

"Ren, seriusan lo mau ketemu Dannis? Ngapain lagi sih? Lo masih ga terima diputusin sama dia?".

Dita lebih dari sekedar cerewet.

"Ya menurut lo aja." jawab Rena sekenanya.

"Emang brengsek tu cowok, mutusin cuma lewat LINE tanpa alasan yang jelas. Banci!"

Rena kembali mengingat kejadian semalam, awalnya melihat notifikasi LINE dari Dannis membuat dia tersenyum bahagia karena sudah beberapa hari cowok berstatus pacarnya pada saat itu tidak memberi kabar. Menghilang. Sebelum akhirnya senyum Rena lenyap bersama sederet kalimat yang awalnya sulit ia cerna.

Dannis Kurniawan: Ren, hubungan kita udah ga sehat. Aku ga mau nyakitin kamu lebih lagi.

Rena Khalisa: Maksudnya gimana, Dan?

Dannis Kurniawan: Ya, aku sering ga ada waktu buat kamu.

Rena Khalisa: Jadi??

Dannis Kurniawan: Kita udahan. Maaf.

Rena Khalisa: Oke.

Disini dia sekarang, bersiap menemui cowok yang sudah resmi menjadi mantannya.

"Dia punya alasan Dit, katanya sih dia sibuk. Gila ya, pas pacaran aja minta ketemuan sulit. Sekarang gue minta ketemuan langsung diiyain sama dia."

"Iya, sibuk sama gebetannya yang lain. Mantan lo emang keren."

Tawa keduanya menggema di kamar bernuansa biru langit itu. Tidak ada lagi air mata. Rena sepakat perpisahan bukan untuk ditangisi lebih lama.

***

"Sorry Ren, lo udah lama nunggu?"

Suara yang ia rindukan. Oh tunggu, 'Lo' bukan 'kamu'. Beneran udah putus ternyata. Batin Rena tertawa.

Gadis itu sedikit tersenyum sambil mengalihkan fokus dari novel Rindu yang sedang ia baca ke cowok yang sekarang mengambil posisi duduk di depannya.

"Baru kok, baru juga habis 13 halaman." Rena menutup novel itu dan meletakkannya di atas meja.

"Sorry. Gue pesan dulu ya Ren."

Rena tidak menjawab, ia sama sekali tidak melepaskan pandangan dari Dannis. Memperhatikan wajah Dannis, melihat setiap ekspresi cowok itu saat berbicara dengan pelayan cafe. Masih tampan.

"Gimana kabar lo, Ren?" Dannis membuka percakapan setelah ia selesai dengan pesanannya.

"Baik."

Keduanya diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Seolah ada yang menahan Rena untuk memulai pembicaraan. Gadis itu menarik nafas berusaha menenangkan dirinya.

"Ren, Lo kecewa sama gue?" tanya Dannis.

Rena sontak menatap tepat di manik mata Dannis. Sedikit tidak percaya dengan pertanyaan yang baru saja ia dengar.

"Ya menurut lo aja."

Gadis itu mengaduk pelan minuman yang setengah isi gelasnya sudah ia minum saat menunggu tadi. Pandangannya beralih ke jendela cafe. Mencari sedikit ketenangan lewat hijau pepohonan yang ia lihat melalui jendela itu.

"Maaf Ren."

"Kenapa lo mutusin gue?" tanya Rena to the point, ia ga mau berlama-lama lagi.

Dannis diam, terlihat sekali cowok itu sedang memikirkan kata-kata yang pas untuk diucapkan.

"Lo terlalu baik buat gue."

Klise. Rena kembali tersenyum, ia mengambil gelas yang ada di hadapannya. Meminum jus jeruk yang tadi ia pesan. Dingin.

"Gue yang terlalu baik, atau elonya yang kelewat brengsek?"

Dannis tersedak minumannya sendiri. Kaget mendengar pertanyaan mantan gadisnya ini.

"Santai kali Dan, canda gue juga.. Ah elah." ujar Rena sedikit tertawa, tentu saja gadis berlesung pipi itu ga sepenuhnya becanda, ia hanya menyampaikan apa yang ada di pikirannya.

"Gue ngerasa ga punya waktu buat elo, Ren, dan gue ga mau lo sakit karena itu."

Rena tersenyum lagi, kali ini ia memainkan novel yang ada di meja, membalik halaman secara asal.

"Sibuk sama dia yang lain ya?"

Dannis terkesiap, hampir saja gelas di genggaman jatuh ke lantai.

"Apaan sih Ren?" Dannis mengalihkan pandangannya ke sekitar cafe, canggung.

"Gue sayang lo, Dan, sampai sekarang."

Dannis memijit pangkal hidungnya dengan telunjuk dan ibu jari, terlihat gugup.

"Gue pikir hubungan gue sama lo bisa bertahan lebih lama. Sedih sih, tapi gue bersyukur lo udah jujur sama gue."

"Jujur?"

"Iya, soal elo yang brengsek. Lo sendiri kan yang ngakuin tadi. Jadi pikiran gue ga liar lagi."

"Sorry Ren." cowok itu menunduk, mengigit bibir bawahnya, wajahnya menyiratkan sedikit penyesalan.

"Santai kali Dan.. Gue emang sedih sih tiba-tiba diputusin gitu aja, apalagi ga ada masalah antara kita sebelumnya. Tapi gue anggap ini sebagai penyelamat gue. Jodoh gue pasti lebih baik dari lo. Iya kan?"

Senyum Rena mengembang, bukan ingin mengejek Dannis atas keputusan sepihaknya, tapi menunjukkan bahwa ia bisa berdamai dengan keadaan sulit seperti ini.

"Sorry Ren."

"Lo apaan deh, sorry mulu dari tadi. Lebaran masih lama, Dan." Rena terkekeh, berusaha mencairkan suasana.

"Kita juga ga bisa maksain keadaan kan, Dan? Bareng kalo cuma bikin salah satu dari kita terbebani, ya buat apa juga?" lanjutnya.

"Apa gue masih bisa jadi temen lo?" tanya Dannis tulus.

Rena tanpa ragu menatap tepat di mata Dannis, ada penerimaan disana.

"Of course, gue juga ga berharap kita musuhan." jawab Rena dengan senyum tulus. Berteman. Ga ada salahnya.

"Thanks."

"Oh iya," Rena mengeluarkan benda bulat kecil berwarna silver, cincin, di permukaannya terukir R & D, inisal nama keduanya.

"Waktu itu lo bilang kalau cincin ini untuk wanita spesial lo, berhubung gue udah ga spesial lagi, jadi gue balikin deh." sambil terkekeh pelan, Rena meletakkan benda itu di hadapan Dannis.

"Lo bisa simpan ini Ren."

"Ogah ah, males keinget lo mulu. Mending lo aja yang simpan, ntar tinggal cari cewek yang inisialnya sama kayak gue, jadi lo ga perlu repot lagi nyari cincin. Lo lagi ngegebet adek kelas kan?"

Dannis mengulum senyumnya, mukanya memerah, mungkin saja malu.

"Tegang amat lo, santai kali. Salam deh buat calon pacar lo." ujar Rena, yang semakin menyudutkan Dannis.

"Lo pasti bisa nemuin yang lebih baik dari gue, Ren."

"Iya, pasti." balas Rena yakin. Dannis bukan yang terbaik.

"Thanks buat waktunya, Dan. Kalau aja gue tau bakal semudah ini buat ketemu lo, mending lo putusin gue dari dulu deh. Hehehee..."

Candaan yang ga lucu di telinga Dannis.
Merasa tujuannya sudah terpenuhi, Rena mengambil novel yang tadi tergeletak di atas meja, memasukkannya ke dalam tas yang ia bawa. Di luar terlihat mendung, ia ingin segera pulang sebelum kehujanan.

"Kalo gitu gue balik ya, Dan. Takut kehujanan. Minuman lo mau gue bayarin sekalian?" tanya Rena sambil berdiri dari duduknya. Ia menatap Dannis, menunggu jawaban dari cowok itu.

"Eh, ga usah. Gue aja." tolak Dannis.

"Gue pergi." ucap Rena, ia melangkah meninggalkan cafe, sekaligus meninggalkan hati Dannis.

Cowok itu hanya menatap punggung Rena yang perlahan menjauh dan kemudian hilang di balik pintu kaca yang membatasi cafe dengan dunia luar.

Lo beda Ren, maafin gue udah ngecewain lo. Batin Dannis.
Bahkan cara berpisah mereka pun juga beda, menurut Dannis.

***

Langkah Rena terasa ringan, seiring beban di dadanya yang sudah berkurang. Semua tentang penerimaan, tanpa dendam. Dannis bukan jodohnya.

Rena berjalan cepat ke arah halte terdekat, hujan perlahan turun, ia tak ingin kehujanan.

"Ah, langit aja ngertiin gue." ucap Rena saat berhasil tiba di halte tepat sebelum bulir hujan turun bergerombol.

"Kehilangan pacar bukan berarti harus kehilangan teman." ucap Rena pada dirinya sendiri. Ia tersenyum menatap setiap tetas air yang turun dari langit, sebuah senyum penerimaan.

Berdamai dan jujur pada diri sendiri adalah salah satu cara terbaik untuk bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar