Senin, 11 Mei 2015

Hujan, Ia Ada

Kenapa aku menyukai hujan?
Entahlah..
Mereka bilang aku akan basah
Aku akan dingin
Tapi bagiku hujan itu hangat
Hujan bisa memelukku dengan erat
Bisa mengaburkan yang tak semestinya terlihat
Hujan...
Begitu damai
Begitu hangat dengan segala kedinginannya
Begitu setia dengan segala penerimaannya
Mereka mengutuk tapi hujan tak bergeming
Hujan tak meragu dengan tugasnya
Begitu setia dengan posisinya
Bukankah itu hebat?
Seandainya bisa
Aku bersedia dipinang oleh hujan :)
-saat hujan basahi aku-

Sore itu, awan hitam masih dengan setia menggelayuti langit kota seakan bersiap memuntahkan bebannya ke permukaan bumi. Namun urung terjadi, mungkin karena masih ada seorang gadis yang setia menatapnya. Berjam-jam gadis itu duduk memandang langit seolah ada kebahagiaan disana. Gadis berkerudung dengan sketchbook yang digenggamnya erat. Gadis itu masih enggan beranjak dari tempatnya, sebuah bangku taman yang berada tepat dipekarangan rumahnya. Masih setia menatap langit.
"Aira.. Ayo masuk nak, nanti kamu kehujanan"
Suara lembut khas seorang ibu menyentak gadis yang dipanggil Aira itu dari aksi bisunya menatap langit
"Iya Bu.."
Jawaban yang menghadirkan senyum di wajah perempuan yang dipanggil ibu. Aira bergegas meninggalkan tempatnya bukan karena bosan, hanya karena ia tidak mau membuat ibunya harus mengulang ucapan untuk menyuruhnya masuk. Menghindari hujan menurut sang ibu, walaupun bagi Aira tidak ada yang perlu dihindari dari hujan.

-Hujan, kristal bening dari langit. Walau tak semua orang mampu melihatnya-

"Ayolah Aira.. temani aku sebentar saja. Ibumu juga ga akan marah jika kita pulang sedikit telat"
"Engga Yo.. aku ga mau ibu cemas" membuat ibunya khawatir adalah neraka bagi Aira. Bukan takut dimarahi, hanya ia tidak mau membuat perempuan yang paling disayang dan dihormatinya itu dalam keadaan cemas.
"Aku akan bertanggung jawab"
"Emangnya kamu menghamiliku" jawaban ketus Aira sukses membuat pemuda disampingnya itu membatu. Begitulah Aira, gadis dengan segala kesederhanaannya termasuk dalam berkata.
"Bukan begitu, aku akan bertanggung jawab jika nanti ibu marah" Rio berusaha menjelaskan maksudnya. Rio dan Aira adalah sepasang sahabat yang melewati banyak waktu bersama, termasuk saat perdebatan ituu terjadi, keduanya dalam perjalanan pulang selepas menuntaskan segala rutinitas sebagai pelajar. Rio, masih berusaha meyakinkan Aira dan sadar usahanya akan berakhir mengenaskan.
"Ayolah Aira... please" nada suara serta tatapan Rio persis seperti anak kecil yang meminta dibelikan mainan oleh ibunya. Memelas. Ekspresi yang paling dinanti Aira. Sebenarnya sudah sejak tadi gadis itu berniat mengiyakan ajakan sahabatnya, tapi melihat tampang memelas Rio adalah kebahagian tersendiri bagi Aira, lucu menurutnya.
"Oke. Tapi inget ya cukup satu aja. Aku ga mau pulang terlalu lambat"
"Siap. Satu juga udah lebih dari cukup, yang penting dihalaman pertamanya ada wajah kamu"
Rio tak sanggup menahan perasaannya. Ada kebahagiaan luar biasa yang terpancar dari sorot mata pemuda itu karena berhasil memenangkan perdebatan dengan Aira. Ia berusaha mati-matian membujuk agar gadis itu mau menjadi objek lukisannya. Ya, Rio sangat senang melukis, apalagi ketika ia berhasil mengabadikan sketsa wajah Aira dalam selembar kertas. Cantik menurutnya.

-saat hujan basahi aku-

"Jangan manyun gitu dong Ra.. jelek ntar hasilnya" Rio sedikit frustasi, Aira terlihat sudah tidak betah berlama-lama ada disana. Di sebuah kursi taman yang tidak jauh dari areal sekolah mereka. Keduanya sengaja memilih tempat itu untuk menuntaskan misi mereka, misi Rio lebih tepatnya.
"Ya makanya buruan, panas tau" keluh Aira. Bagaimana tidak, matahari tepat di ubun-ubun mereka, wajah Aira sudah memerah karena sengatan matahari. Begitu juga Rio, terlihat sekali wajah pemuda itu memerah karena matahari juga atau mungkin ada sengatan dari energi lain. Entahlah.
"Kamunya senyum dong, aku ga mau ya ntar anak cucu kita ketakutan lihat sketchbook ini cuma karna halaman pertamanya dihiasi wajah manyun nan menyeramkan seperti wajahmu sekarang itu"
"Anak cucu?? Kita ini masih SMA Rioo, masa ngomonginnya anak cucu. Masih jauh, masih buram" Aira sedikit kesal mendengar kata anakcucu yang dilontarkan Rio, seperti akan menikah besok saja.
"Ga ada salahnya kan merangkai masa depan dari sekarang" jawab Rio dengan nada yang sangat pelan, mungkin pemuda itu hanya bermaksud berbisik kepada angin.
Hening. Hanya suara goresan pensil yang beradu dengan kertas menjadi backsound diantara mereka. Rio tampak khusyuk menyelesaikan lukisannya, tidak ingin membiarkan gadis di depannya ini terlalu lama kepanasan.
"kelaarr" suara Rio menyiratkan kelegaan sekaligus kepuasan luar biasa karena berhasil merangkum wajah Aira dalam sebuah sketsa.
"Coba sini liat"
Rio menyodorkan hasil lukisannya dengan sebuah senyum yang mengembang.
"Gimana Ra? Cantik ga hasilnya?"
"Cantik dong"
"Hahaa.." Rio hanya tertawa bangga menanggapi jawaban Aira.
"Lukisannya jelek sekalipun aku akan tetap bilang cantik"
"Karena pelukisnya aku, Ra?"
"Karena yang dilukis wajah aku"
Keduanya diam, kemudian melepas tawa yang menggema hingga ke langit.
"Udah kan Yo? Pulang yuk.. nanti Ibu nyariin" ajak Aira.
Rio mengiyakan ajakan Aira dengan mulai beranjak dari tempat mereka duduk. Keduanya berjalan masih beriringan.
"Ra, kenapa sih kamu suka banget sama hujan? Bukannya hujan bisa bikin kita sakit ya?" Pertanyaan Rio memecah keheningan diantara mereka.
"Karena hujan itu hangat"
"Kalo aku, hangat juga ga?" Entah apa maksud pertanyaan bersayap yang dilontarkan Rio.
"Kamu demam?" Aira terlihat khawatir.
"Engga. Jadi kenapa hujan itu hangat?"
"Iya. Rasain deh saat tubuh kamu ditimpa hujan, berasa ada yang meluk Yo. Hangat"
"Engga tuh, justru malah bikin menggigil" bantah Rio
"Cuma yang terpilih yang bisa merasakan kehangatannya" jawab Aira mantap dan disertai senyum lebarnya.
"Jadi kamu terpilih?"
"Maybe. Saat aku bersama hujan, aku bebas. Aku bisa menangis tanpa ada yang tahu, aku juga bisa berteriak tanpa ada yang terganggu. Ntar deh kita rasain bareng-bareng" ajak Aira dengan sangat antusias. Ya, Aira memang gadis penikmat hujan.
"Pasti senang bisa hujan-hujanan bareng kamu Ra. Kalau begitu, seandainya suatu saat aku jauh dari kamu, kamu bisa anggap hujan sebagai pengganti aku. Rasakan, karena saat itu aku sedang memeluk kamu"
Kening Aira tampak berkerut mencerna ucapan Rio, tapi gadis itu tidak berniat terlalu memikirkannya. Rio hanya iseng berkata seperti itu.

-saat hujan basahi aku-

Aira tetap berjalan walaupun langit sudah menghitam, bukannya takut tapi gadis itu justru menanti. Seolah menantang langit. Kali ini Aira sangat berharap hujan akan turun karena ia sangat merindukannya. Aira hendak menemui Rio, ia sangat merindukan pemuda itu. Sepertinya langit menerima tantangan Aira, angin mulai berhembus liar pertanda akan hujan. Bukannya mempercepat langkah justru Aira semakin menikmati. Gadis itu sudah tidak sabar untuk bisa bersama hujan.
Aira sampai di tempat Rio dan saat itu juga buliran bening dari langit mulai susul-menyusul menghujam bumi.
"Hai Yo, apa kabar?"
Aira memejamkan mata dan mulai menikmati setiap rintik hujan yang jatuh menimpa tubuhnya. Ia merasakan, gadis itu merasakan Rio sedang memeluknya. Ya, Rio memeluknya. Pemuda itu memeluknya tepat di depan sebuah gundukan tanah dengan nisan yang  bertuliskan Rio Aditya.

1 komentar: